Hidup Sederhana
Tulisan asli: Hidup Sederhana (15 Juni 2014)
Beberapa waktu lalu mata saya bintitan.
Nggak. Saya gak habis ngintip siapa-siapa.
Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali penyakit mata mengganggu ini datang pada saya. Bisa jadi ini yang pertama sejak saya masuk kuliah, di mana saya sudah tinggal di kost dan harus bisa mengurus diri seorang diri.
Awalnya saya kira bintitan ini hanya akan berlangsung satu dua hari lalu sembuh dengan sendirinya. Tapi saat sudah sampai hari ketiga, saya mulai was-was. Saya akhirnya memutuskan ke apotek untuk membeli obat tetes mata seperti yang biasa diberikan ibu saat saya mengalami hal seperti ini waktu kecil.
Saat sampai di depan rak obat tetes mata, saya baru tahu kalo obat ini banyak sekali jenisnya.
“Mba, yang biasa buat nyembuhin mata bintitan yang mana ya?” Tanya saya pada penjaga apotek yang kebetulan memerhatikan saya yang sedang bingung.
“Kalau bintitan mah gak pakai obat tetes, Mas. Kan letaknya di luar bola mata.” Ia kemudian menganjurkan sebuah salep yang harus dioles di bagian dalam kelopak mata (iya, ini ribet banget) yang akhirnya saya beli.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya terusik dengan jawaban penjaga apotek tadi. Kalau memang benar, kenapa selama ini obat tetes yang diberikan ibu selalu mujarab menyembuhkan mata saya? Saya pikir mungkin inilah bagaimana placebo berkerja pada diri manusia. Cukup dengan mengonsumsi hal yang dianggap obat, lalu biarkan sugesti yang menunaikan tugasnya. Sederhana sekali.
Kemampuan absurd bernama ‘sugesti’ ini rasanya sudah tertanam dalam diri setiap manusia. Dengan kemampuan berpikir (oh, lihat betapa ironinya), manusia bisa percaya pada kekuatan hal-hal belum pasti berdasarkan pengalaman pribadi maupun orang lain. Bahkan tidak jarang, kita sendiri terlibat dalam proses penyebaran hal-hal ngaco seperti ini ke orang-orang terdekat.
Cukup mengonsumsi hal yang dianggap obat, lalu biarkan sugesti yang menunaikan tugasnya.
Tapi kekuatan sugesti bisa melemah saat kita tahu fakta yang sebenarnya. Fakta kalau apa yang kita percaya gak berpengaruh apa-apa dan beberapa keberhasilan yang sudah-sudah bisa terjadi karena faktor lain. Dari situ kita mulai berhenti bergantung pada faktor-faktor lain selain diri kita sendiri.
Sebagai orang yang seringkali berpikir logis, kemampuan sugesti saya bisa dibilang lemah. Saya merasa beberapa mitos terlalu konyol untuk berkerja pada diri saya. Contohnya mitos ‘menggenggam batu untuk menahan sakit perut’ yang tingkat absurd-nya.. tidak bisa saya nilai. Bagaimana bisa orang-orang percaya pada mitos aneh ini. Mungkin satu-satunya cara menahan sakit perut yang saya percaya adalah dengan menggunakan batu tersebut untuk menyumbat lubang pembuangannya.
Akhir-akhir ini saya merasa sikap berpikir logis saya semakin menjadi-jadi. Tidak hanya pada mitos, saya kadang juga jadi pesimis pada beberapa hal seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya. Misalnya jadi takut mencoba karena tahu banyak yang gagal, atau kadang merasa kecil melihat orang-orang hebat di sekitar saya. Kemampuan sugesti saya seakan sedang lemah-lemahnya.
Saya jadi iri kalau mengingat bagaimana nenek saya yang merupakan keturunan Cina asli sedang asik membaca buku chinese almanac-nya. Saat ingin ‘meminta petunjuk’, ia akan mengikuti apa yang dikatakan buku tersebut dan percaya hasilnya pasti akan baik.
Nenek tinggal mengikuti apa yang dikatakan buku chinese almanac-nya dan percaya hasilnya pasti akan baik.
Di saat saya merasa bisa memegang kendali atas diri sendiri dan tidak bergantung pada mitos-mitos konyol, di saat yang sama kadang saya merasa butuh kekuatan sugesti itu lagi. Kekuatan sugesti sesederhana nenek saya yang percaya akan beruntung setahun penuh jika memakai baju berwarna tertentu saat tahun baru Cina.
Sugesti — sekonyol apapun itu — nyatanya bisa menciptakan sebuah harapan yang positif. Membuat problematika hidup yang ribet seakan bisa jadi sederhana. Saya nggak tahu apa kekuatan sugesti serupa masih bisa berkerja pada pikiran logis saya ini, yang jelas nyembuhin bintitan di mata yang ganggu ini nggak akan sesederhana dulu lagi.
—
Tangerang, 15 Juni 2014