Mari Bicara Tentang Yuni
Masyarakat Melanggengkan Batasannya Sendiri
Karena selama 2021 saya hampir tidak pernah mengulas singkat apapun yang baru ditonton, rasanya saya ingin menutupnya dengan sebuah tulisan panjang. Tahun ini setelah menerima vaksin kedua dan kasus baru harian COVID-19 stabil di angka rendah, saya akhirnya memberanikan diri kembali ke bioskop. Di rentang waktu tiga bulan terakhir saya sudah menyaksikan aksi final Daniel Craig sebagai Bond, cacing gurun raksasa, percintaan Ajo Kawir-Iteung, konsep akhirat Jason Iskandar, akting berkelas Willem Dafoe, dan tentunya pergumulan seorang pelajar perempuan di Banten dan orang-orang di sekitarnya.
Di tulisan ini saya hanya akan fokus pada Yuni (2021). Alasan sederhananya karena perbincangan saya dengan berbagai orang yang menonton film ini selalu menarik, jadi sayang kalau hanya berakhir di riwayat percakapan saja.
Saat filmnya masih berkeliling di berbagai festival internasional, muncul kabar kalau versinya berbeda dengan yang akan tayang di bioskop Indonesia. Hal ini saya rasa wajar melihat adanya nama Starvision Plus—yang identik dengan film komersil—di poster bersama Fourcolours Films milik Kamila Andini. Awalnya saya kira akan banyak adegan yang dipotong di versi bioskop untuk menyesuaikan pasar Indonesia, tapi saya salah besar saat ternyata durasi versi bioskopnya lebih panjang dengan tambahan berbagai adegan.
*Peringatan: mulai dari sini tulisan akan mengulas plot film*
Memperkenalkan Yuni
Film dibuka dengan adegan Yuni mengenakan pakaian dari yang paling dalam hingga terluar, seragam SMA lengkap dengan hijabnya. Awal yang seakan menandai bagaimana manusia mulanya terlahir “polos” lalu seiring waktu mengenakan label-label yang tercipta di masyarakat.
Yuni diidentikkan dengan ke“gila”annya pada warna ungu yang menjadi mood di sebagian besar durasi. Penggunaan mood warna ini kemudian dimanfaatkan dengan baik di pertengahan film untuk menggambarkan kekacauan batin Yuni. Pada adegan itu Yuni terduduk di lantai kamarnya dipenuhi kuning cahaya matahari yang kontras dengan mood biasanya.
Sebagai pelajar yang cukup berprestasi, sejak awal film Yuni diceritakan bingung dengan apa yang dia inginkan setelah lulus. Absennya keberadaan kedua orang tua yang bekerja di Jakarta membuat Yuni ditinggal di rumah dengan neneknya yang memiliki pola pikir generasi lama yang sarat dengan mitos berbagai larangan.
Perempuan di Sekitar Yuni
Yang saya suka dari versi bioskopnya adalah bagaimana film ini tidak hanya berbicara soal 1 karakter perempuan saja. Versi ini juga mengeksplor perempuan-perempuan lainnya dengan masalah hidupnya masing-masing.
Lingkaran Pertama Yuni
Seperti Yuni, teman-teman dekatnya juga menghadapi masalah dengan batasan-batasan yang dipasang masyarakat pada perempuan. Ada yang harus pasrah diterlantarkan suaminya setelah melahirkan dan ada yang terpaksa menikah karena tertangkap masyarakat sedang berdua di tempat sepi. Di lain sisi Yuni dan gengnya juga tidak digambarkan tanpa cela, mereka—selayaknya bagian masyarakat tersebut—membicarakan temannya yang menutupi kehamilan di sekolah sebelum akhirnya teman tersebut bunuh diri.
Obrolan geng Yuni saat berbaring di rumput menggambarkan budaya di mana seks jadi hal yang tabu untuk dibicarakan bahkan di lingkungan teman dekat sekalipun. Bagaimana pertemanan ini masih canggung membicarakan topik tersebut dan bagaimana mereka semua tidak bisa berbuat apa-apa terhadap batasan-batasan yang sudah terbentuk di masyarakat.
Lingkungan Sekitar Yuni
Di daerah tempat tinggalnya—yang mirisnya didominasi perempuan—Yuni dihadapkan dengan lingkungan yang sering membicarakan hal-hal yang tidak jauh dari standar perempuan di masyarakat. Seperti penjaga warung yang menasehati bagaimana Yuni seharusnya bersyukur dan menerima lamaran atau Bu Kokom yang kerap membanggakan anaknya yang disebut menjadi TKW di luar negeri.
Penampilan menarik perhatian dari Asmara Abigail sebagai Suci Cute juga banyak dibuang di versi festival. Karakter ini mendorong Yuni jadi lebih berani dan mencoba hal-hal baru. Lewat obrolan mereka, diketahui Suci menikah muda lalu menjadi korban budaya di mana perempuan sering disalahkan pada gagalnya sebuah hubungan. Hal ini mendorong Suci pergi dari lingkungannya untuk bisa bebas namun harus membawa segala beban kehidupannya sendiri. Karakter Suci sering terlihat bersama seorang lainnya yang di pertengahan akhir Yuni kenali sebagai anak Bu Kokom. Pengungkapan ini menjadi poin penting keberadaan Bu Kokom.
Laki-laki di Sekitar Yuni
Dua lamaran pertama Yuni datang dari dua lelaki berlatar belakang berbeda yang sama-sama menjanjikan materi bahkan akan memberi lebih untuk keperawanannya. Lamaran ini segera menyebar di lingkungan sekitar yang secara tidak langsung memberi tekanan kepada mentalnya. Yuni yang tidak dapat menerima hal ini terjadi kepadanya seakan harus menghadapinya sendiri. Di satu titik Yuni bahkan memutuskan berhubungan seksual dengan Yoga sebagai alasan menolak lamaran.
Yang menarik adalah bagaimana versi bioskopnya membuat seakan Yoga lah yang dilepas ke”perawanan”nya. Karakter ini awalnya diceritakan sebagai lelaki pemalu yang cenderung takut bertarung melawan Yuni. Kemudian tidak lama setelah adegan hubungan seksualnya, Yuni mendapati Yoga berdarah setelah berkelahi di sekolah. Simbolis ini menandai karakter Yoga yang menjadi lebih alpha hingga akhir cerita.
Lalu tibalah pada satu titik di mana Pak Damar, satu-satunya sosok lelaki yang ia kagumi di lingkungannya, menjadi horor baru di kehidupan Yuni. Rahasianya yang sekarang diketahui membuatnya memaksa Yuni menerima lamarannya. Dengan semakin derasnya tekanan yang diterima di kali ketiga, Yuni akhirnya mengiyakan lamaran tesebut. Tapi sebuah rencana lain ternyata sudah disiapkan Yuni yang memutuskan kabur di menit terakhir sebelum pernikahannya.
Akhir Cerita Yuni
Filmnya—pada versi bioskop—ditutup dengan adegan di mana karakter-karakter perempuan yang memiliki pergumulan di film ini bernyanyi lepas di depan api unggun dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sebuah adegan yang mustahil untuk benar terjadi di lingkungan yang baru kita tonton—mengingatkan saya pada penutup Les Miserables (2017). Saya memilih untuk menerima adegan ini sebagai metafora lingkungan ideal di mana semua karakter perempuan ini lepas dari label-label yang dikenakan masyarakat pada mereka. Membuat penutup versi ini menyempurnakan simbolisme di adegan pertama dan lebih terbuka pada berbagai kesimpulan penonton ketimbang versi festivalnya.
Sungguh sulit menyimpulkan apa yang terjadi pada Yuni di versi bioskop. Lebih terlibatnya kedua orang tua Yuni (yang sama sekali tidak menekan keinginan mereka) sepanjang cerita dan obrolan dengan sang ayah yang mendukung segala keputusan Yuni—dua hal yang hanya ada di versi bioskop—membuat kesimpulan bunuh diri yang tersirat di versi festival sedikit kekurangan motivasi. Tapi ya, mungkin pernyataan ini bias karena saya tidak pernah berada di posisi Yuni. Bisa jadi juga memang keambiguan ini yang diinginkan pada versi bioskopnya sehingga tidak terlalu “berakhir kelam”.
Selayaknya Puisi
Saya sangat kagum bagaimana film ini dapat menempatkan puisi-puisi Sapardi dengan begitu elegan pada cerita dengan latar belakang kelas menengah bawah suburban. Bagaimana film ini tidak hanya menempelkan puisi-puisi tersebut tapi juga menginterpretasinya ulang ke pengembangan karakter Yuni.
Lingkungan dengan budaya seperti di film Yuni mungkin terasa jauh bagi kita yang sudah terekspos pemikiran modern di kota besar. Sebagian mungkin geregetan, “Ayoo udah pindah aja ke Jakarta,” yang kadang kita lupa kota besar juga punya problematikanya sendiri.
Dalam beberapa tulisan yang saya baca, Kamila Andini mulai menulis film ini setelah asisten rumah tangganya harus pulang kampung untuk menikahkan putrinya di usia muda. Film ini berangkat dari realita yang sudah mengakar bagaimana sebagian masyarakat kita memperlakukan perempuan. Tekanan budaya yang seakan dianggap wajar yang mungkin tanpa sadar kita ikut melanggengkannya.
Yang dilakukan Yuni (2021) adalah mengangkat topik ini lewat sebuah sajian indah. Sebuah realita yang harus terus diperbicangkan untuk disadari keberadaannya. Kalau kembali ke alasan kenapa saya menulis ini, jawaban mulianya mungkin ini sedikit yang bisa saya lakukan sebagai ajakan untuk memperpanjang umur Yuni—pun intended.
Seterbukanya pikiran kita saat ini dibanding lingkungan Yuni, tidak jarang masih ada hal-hal “baru” yang sulit kita terima karena didikan keluarga yang masuk sedari kita kecil. Melepas budaya lama memang nyatanya sebuah proses panjang yang tidak pernah berhenti.
Terima kasih atas obrolannya yang menjadi bahan tulisan ini: Gladyza Vanska, Mochamad Ramadhan, Vony Wong, Olivia Suryo, Adinda Yuwono, dan Rein Maychaelson.