Posesif (2017): Realita yang Jarang Dilirik
Tulisan asli: Posesif (2017): Realita yang Jarang Dilirik (1 November 2017)
Perfilman Indonesia tahun ini menjadi menarik dengan kehadiran beberapa sutradara film arthouse lokal ternama yang ikut menggarap film komersil. Diawali dengan Istirahatlah Kata-Kata karya Yosep Anggi Noen di Januari, kemudian Lucky Kuswandi dengan Galih dan Ratna, bulan Oktober ini giliran Edwin dengan film Posesif. Saya sangat antusias saat membaca artikel Edwin akan mengeluarkan debut film komersilnya. Apalagi sutradara yang filmnya sudah menembus festival-festival internasional ini akan menggarap genre populer yaitu drama remaja. Walaupun Galih dan Ratna juga bergenre yang sejenis, yang membuat Posesif berbeda dan lebih menarik minat saya untuk menonton adalah kekaguman saya pada film Edwin sebelumnya, Kebun Binatang (Postcard from The Zoo).
Film Posesif bercerita tentang Lala(Putri Marino), seorang atlet lompat indah yang jatuh cinta dan berpacaran dengan Yudhis(Adipati Dolken), siswa baru di SMA-nya yang langsung memikat hati Lala di hari pertama bertemu. Hubungan yang awalnya lancar-lancar saja menemukan hambatan ketika Yudhis merasa pacarnya terlalu disibukkan dengan latihan rutinnya. Orang-orang terdekat dan kebebasan Lala kemudian mulai dianggap sebagai gangguan bagi Yudhis. Hubungan yang berawal manis lalu berubah menjadi sesuatu yang membahayakan mereka dan sekitarnya.
Meskipun tema percintaan remaja sering diangkat produsen film lokal, topik yang dibahas Edwin dalam film ini — kekerasan dalam hubungan/abusive relationship — adalah topik yang sepertinya luput dan pantang diangkat ke layar lebar. Sepanjang film penonton akan dibawa mengikuti naik turunnya hubungan dua sejoli ini. Berbeda dengan film cinta remaja yang kebanyakan mengglorifikasi keindahan, Posesif membuat penontonnya dapat lebih terhubung(relate) lewat cerita hubungan antar manusia yang riil dengan segala permasalahannya yang pelik. Karakter dengan sifat-sifat yang kuat yang tidak lepas dari pengaruh orang-orang sekitarnya. Kalau sebuah film yang memorable adalah yang berhasil merefleksikan jamannya, Posesif mungkin yang paling gamblang memaparkan gaya hidup remaja sekarang di era teknologi dan media sosial.
Alur cerita yang berbeda dengan film komersil biasanya ini mungkin akan membuat beberapa penonton mulai merasa bosan menjelang akhir film. Tapi seperti yang saya harapkan pada film ini, Edwin tetap menjadi Edwin dengan menghadirkan sebuah cerita yang tidak klise.
Walaupun begitu, rasanya Posesif berusaha dipadatkan menjadi 100 menit dengan mengorbankan beberapa scene atau dialog. Seperti yang terasa pada scene flashback yang cukup membuat bingung karena tidak adanya scene itu sebelumnya(yang ternyata menjadi materi promosi film yang diunggah di kanal Youtube Palari Films beberapa bulan lalu).
Permainan semiotik yang biasa ada dalam film-film Edwin juga tidak ditinggalkan. Salah satunya adalah pemilihan penguin(semoga saya tidak keliru) sebagai penggambaran keluarga Lala. Alasannya tentu lebih dari sekedar induk jantan dan anak yang melihat induk betinanya melompat ke air. Penguin jantan dikenal memiliki tugas yang biasanya pada hewan lain dilakukan induk betina yaitu mengerami telur. Scene yang menurut saya paling kuat adalah scene terakhir saat Lala kembali jogging di taman seperti pembuka film ini.
Yang mengejutkan dari film Posesif adalah kualitas acting Adipati Dolken yang sangat memukau. Penampilan aktor yang sebenarnya jauh dari umur anak SMA ini sungguh melebihi ekspektasi saya. Bagaimana ia dapat beralih dari karakter yang manis hingga menjadi sesuatu yang misterius dan puncaknya pada twist latar belakang karakternya. Sangat layak untuk piala pemeran pria terbaik FFI 2017.
Sebagai karya audio visual, yang sangat disayangkan adalah film ini tidak dibarengi dengan kualitas suara dan sunting gambar yang memuaskan. Terlepas dari soundtrack-nya yang cukup beragam dari Banda Neira hingga Dipha Barus — dan tentu saja, Sheila on 7. Banyak adegan vital yang memiliki kualitas suara yang mengganggu karena percakapannya terasa sekali di-dubbing. Tapi secara visual, mata kita akan dimanjakan dengan shot-shot menarik terlebih pada adegan-adegan lompat indah.
Kurang puasnya saya mungkin karena Kebun Binatang(2012) telah menempatkan ekpektasi yang cukup tinggi terhadap film Posesif. Namun mengingat ini film komersil, tentu prosesnya berbeda dan ada yang harus dikompromi. Tantangan yang mungkin juga dihadapi film ini adalah kemunculannya yang berbarengan dengan film populer Thor. Saya yakin promosi jadi kunci film ini bisa memiliki nafas yang panjang di bioskop. Mungkin ini yang jadi alasan poster Posesif kurang dapat merepresentasikan filmnya yang jauh dari sekedar kisah cinta remaja biasa.
Kalau anda ragu untuk menonton karena poster, trailer, atau sinopsis yang anda lihat di media Indonesia, mungkin penjelasan singkat film ini di situs Singapore International Film Festival lebih berhasil mendeskripsikan film ini dengan baik
The desire to possess swings like a pendulum in this strangely enigmatic teen romance thriller.
Bagi yang mengikuti film indie lokal, mungkin akan sangat terhibur dengan kehadiran Ismail Basbeth yang berperan sebagai cameo di awal film ini. Ismail Basbeth juga merupakan sutradara film arthouse lokal yang sudah lebih dulu meluncurkan film komersilnya Mencari Hilal di 2015.
Film Posesif belum dapat dibilang sempurna, tapi upaya Edwin untuk membuat film komersil bergenre drama remaja yang bermutu patut diapresiasi dengan cara ditonton di bioskop. Dengan jumlah penonton yang cukup, Edwin bisa (dan harus) mendapat kesempatan lagi untuk membuat film komersil dengan persiapan dan produksi yang lebih matang.
—
Jakarta, 1 November 2017